Fantastika
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

~ Where Fantasy meets Brotherhood ~


You are not connected. Please login or register

Rumah yang sunyi (benar2 mengilhami)

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

1Rumah yang sunyi (benar2 mengilhami) Empty Rumah yang sunyi (benar2 mengilhami) Fri Jun 10, 2011 10:09 am

kepa

kepa
Captain
Captain

Suatu pagi, di sebuah rumah, terdengar teriakan suara seorang ibu memberi perintah dan omelan kepada kedua putranya.

"Ayo, cepat. Makan jangan lambat-lambat begitu! Buku PR-nya sudah
dimasukin ke dalam tas? Bercandanya nanti saja kalau sudah pulang dari
sekolah. Ayo anak-anak, jangan terlambat, nanti kena hukuman lagi lho!"
seru si ibu dengan nada tegas.

Tidak lama kemudian, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, suasana
hiruk pikuk pun akhirnya terhenti. Rumah pun menjadi sepi. Yang
tertinggal hanyalah segala macam barang-barang berserakan: mangkuk,
piring-piring dan gelas-gelas kosong, kamar mandi yang kotor, tumpukan
baju bekas pakai, dan sandal yang entah ke mana pasangannya. Sambil
menghela napas, si ibu melihat sekeliling dan merasa seakan semua
pekerjaan bertumpuk telah menunggunya untuk disentuh dan dibereskan.

Tidak lama kemudian, si suami yang bersiap-siap hendak pergi ke kantor,
dengan lantang berseru, "Bu, di mana dasiku yang berwarna biru? Tolong
carikan, Bapak lagi buru-buru nih. Oh ya, kaos kakinya sekalian.
Sarapannya dibawa saja ya, tolong siapin sekalian! Makasih Bu!"

Mendengar ucapan sang suami, dengan cekatan si istri membantu mencarikan
barang-barang yang diperlukan suaminya dan memindahkan sarapan di meja
untuk dibawa. Tak lama kemudian, dengan keberangkatan suaminya,
kesunyian semakin terasa. Seisi rumah seakan lenyap dan menyisakan
pekerjaan rumah yang menggunung.

Ada kepeningan dan kejenuhan yang melanda si ibu. Dia merasa tidak
bahagia karena hari demi hari dilaluinya dengan kondisi yang nyaris
sama, yakni selalu dengan beban pekerjaan rumah menumpuk. Hal tersebut
membuat semua beban yang harus dipikulnya tidak tertanggung lagi.

Hingga suatu hari, untuk menenangkan pikiran, ibu itu pergi menengok
neneknya yang tinggal di kota sebelah. Saat itu, ketika melihat cucunya
tampak kusut, tidak terawat, dan bersedih hati, neneknya bertanya,
"Aduh, cucu nenek kok kusut begitu sih. Ada apa cucuku? Ada yang ingin
kamu keluhkan ke nenekmu ini? Ayo ceritalah unek-unekmu, nenek siap
mendengarkan."

Mendapatkan kesempatan mencurahkan sebagian perasaannya, sambil menangis
ia mengisahkan semua keluh kesah dari apa yang dirasakannya. Di akhir
cerita, dia bertanya, "Nek, apakah menikah, bersuami dan memiliki
anak-anak berarti setumpuk pekerjaan yang tidak ada habisnya? Sepanjang
hari, bulan, tahun bahkan sepanjang masa? Sungguh aku lelah Nek, lahir
batin. Sepertinya tidak ada lagi yang tersisa, sedikit saja untuk diriku
sendiri. Apakah Nenek juga pernah merasa seperti itu? Tolong aku, Nek."

"Hmm.. aku mengerti perasaanmu. Nenek akan coba bertukar pengalaman.
Namun sebelumnya, cobalah ikuti apa yang nenek perintahkan. Sekarang,
cobalah pejamkan matamu. Coba bayangkan rumahmu tertata apik, rapi, dan
bersih. Apakah kamu merasa senang, lega, dan bahagia?"

Setelah sejenak memejamkan mata dan membayangkan apa yang diperintahkan
nenek, si ibu menjawab, "Ya, Nek. Aku bahagia berasa di tengah rumah
yang apik dan resik." Sesaat, senyum simpul terlihat menghiasi bibir
yang tadinya terlihat kecut dan banyak beban.

Melihat kondisi itu, si nenek kembali berkata, "Rumahmu kini apik dan
resik, tetapi kosong. Tidak ada anak-anakmu di dalamnya serta kasih
sayang suamimu juga tak ada. Apakah kamu mau?" Mendengar ucapan nenek,
senyuman di wajah si ibu kembali menghilang.

Nenek pun melanjutkan ucapannya, "Kini, bayangkan wajah ketiga putramu
yang sedang bermain dengan gembira sambil mengotori rumahmu. Bayangkan
juga suamimu yang penuh semangat sedang menyiapkan kerja untuk menafkahi
keluargamu."

Saat itulah, si ibu seolah tersadar akan sesuatu yang selama ini
membebaninya. "Oh, aku tahu, Nek. Aku tetap memilih rumah yang
berantakan tetapi dengan keluarga yang aku cintai di dalamnya, daripada
rumah yang apik tetapi kosong dan dingin. Terima kasih, Nek. Ternyata
keluargalah yang membuat rumah hangat dan mendatangkan kegembiraan."

"Cucuku, syukurlah jika kamu telah mengerti. Bila cinta yang mendasari
kamu mengerjakan pekerjaan rumah, maka sebenarnya itu bukanlah beban,
tetapi adalah tanggung jawab kita sebagai bagian dari sebuah keluarga.
Setuju kan?" lanjut sang nenek. Si cucu pun mengangguk dan tersenyum
gembira sambil memeluk sayang neneknya.

---
Kejenuhan akan rutinitas yang dikerjakan sehari-hari, kadang membuat
kita seakan terjebak di dalamnya. Kita seolah merasa, apa yang
dikerjakan justru menjadi beban tak terkira. Akibatnya, kita akan merasa
tidak bahagia. Padahal sejatinya, jika semua bisa dikerjakan dengan
penuh cinta, semua beban berat hanya akan jadi "pijakan" mencapai
kebahagiaan bersama.

Tanpa kehadiran, cinta, dan pengabdian seorang ibu, lalu apalah artinya
sebuah rumah tangga? Karena sesungguhnya, tidak akan ada pemimpin
sehebat apa pun, tanpa seorang ibu yang melahirkannya. Tanpa seorang
ibu, tidak ada siapa pun kita saat ini.

Begitu juga adanya diri kita. Jika merasa beban sudah memberatkan,
cobalah lihat sisi lain dari apa yang sedang kita lakukan. Sebab
pastinya, tak ada pekerjaan yang tak memberikan hasil nyata. Karena itu,
lakukan semua dengan penuh tanggung jawab dan cinta. Sebab,
sesungguhnya, tidak ada pekerjaan yang terlalu berat bila dikerjakan
dengan landasan keikhlasan dan niatan mulia.

Lakukan semua dengan cinta. Berikan semua dengan kasih nyata.


***
Andrie Wongso

sumber: forum tetangga bm.net

Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik